Ringkasan Khotbah : 13 Oktober 2013
Nats: Yakobus 1:22-25 Pengkhotbah : Pdt. Sutjipto Subeno |
Kitab Yakobus adalah kitab praktika. Kehidupan Kristen praktis menyangkut 3 hal yaitu: 1) masalah penderitaan, 2) masalah intelektual, seperti: pendidikan, pekerjaan, dll, 3) masalah uang. Yakobus membahas 3 masalah ini dalam beberapa kali putaran.
Pembahasan hari ini mengenai masalah intelektual putaran kedua. Pada putaran pertama, Yakobus telah mengingatkan kita agar tidak perlu takut kekurangan pintar tetapi yang perlu ditakutkan adalah jika kekurangan hikmat. Dunia gencar mengejar kepandaian. Orang Kristen seharusnya tidak mengejar kepandaian karena kepandaian merupakan ekspresi dari humanisme. Di dunia ini, semakin pandai seseorang justru tidak membawa dia semakin dekat kepada Tuhan; semakin pandai seseorang justru semakin berdosa. Kepandaian telah menjadi alat setan. Intelektualitas juga tidak sepatutnya dikejar karena merupakan pemberian dari Tuhan. Orang yang memiliki IQ rendah bukanlah karena keinginannya dan hal ini tidak bisa diubah. Jadi kita tidak berhak menghina orang yang ber-IQ rendah, dan kita juga bukanlah orang hebat jika memiliki IQ tinggi karena IQ tersebut bukanlah sesuatu yang kita raih melainkan kita menerimanya dari Tuhan.
Kehebatan/ keunggulan dari seluruh pemikiran kita adalah ketika kita bisa menjadi orang yang bijaksana. Alkitab mencatat bahwa permulaan pengetahuan dimulai dari takut akan Tuhan, dan itulah yang menjadi kunci bijaksana. Bijaksana adalah kemampuan kita menggarap semua kapasitas akal budi kita, menggunakan semua kemungkinan dari kapasitas akal budi yang Tuhan berikan kepada kita untuk mempertimbangkan segala sesuatu, lalu kita bisa mengambil kesimpulan/ keputusan tepat seperti yang Tuhan kehendaki. Bijaksana adalah ketika kita bisa sejalan dengan Allah. Berapa banyak dari kita yang keputusannya cocok dengan kehendak/ isi hati/ kebenaran Tuhan atau justru cocok dengan setan?
Tidaklah sulit untuk menjadi orang pandai tetapi jauh lebih sulit untuk menjadi orang bijaksana. Untuk menjadi bijaksana diperlukan perjuangan dimana seluruh kapasitas akal budi kita dipakai secara maksimum, dan seluruh kerohanian kita digarap, serta seluruh keberadaan kita sebagai manusia sedang berelasi dengan Allah. Manusia yang rusak akan menjadi lebih rendah daripada binatang. Binatang hidup secara intuitif, cari makan tetapi berhenti setelah kenyang, sedangkan manusia yang rusak tidak segan-segan menghancurkan orang lain demi kepentingan dirinya. Manusia bisa melakukan hal itu karena manusia pandai tetapi tidak bijaksana.
Mengapa orang Kristen bisa merusak masyarakat? Mengapa kekristenan semakin hari semakin lumpuh? Orang-orang demikian memang menyandang nama Kristen tetapi bukan merupakan orang bijaksana; mereka tidak seperti yang Tuhan kehendaki. Inilah problema DOSA. Untuk mengatasi hal ini diperlukan anugerah keselamatan dan pertobatan. Ketika manusia tidak menyadari problema dosa secara esensial maka manusia akan semakin hancur. Inilah yang dialami pada abad ke-18 sampai saat ini.
Pada abad ke-18 terjadi perubahan dahsyat pada cara pikir spiritual manusia. Gerakan Reformasi di abad ke-16 menjadikan kekristenan semakin hari semakin kuat, dan di abad ke-17 kekristenan mulai merambah ke berbagai tempat di muka bumi ini, juga sampai di Inggris sehingga membawa kepada era Puritan. Pada abad ke-18 muncullah gerakan balik yang sangat mengerikan, yang dipelopori oleh David Hume. David Hume membawa manusia masuk ke dalam dunia empirikal. Semua hal yang dianggap benar tidak lagi dapat dimasukkan ke dalam kategori iman. Iman hanya berurusan dengan hal-hal di atas, sedangkan hidup kita berurusan dengan hal riil.
Perkembangan dunia ilmu pengetahuan menyerang kekristenan dengan begitu dahsyat. Menurut Hume, sesuatu dikatakan benar jika melewati penilaian/ penghakiman dari ilmu pengetahuan. Secara ilmu pengetahuan, sesuatu adalah benar jika kebenaran itu bisa diselidiki dan dirasakan oleh seluruh inderawi manusia (bersifat empiris). Semua kebenaran haruslah melalui penelitian. Sesuatu hal harus diteliti oleh beberapa orang untuk mendapatkan hasil yang objektif dan hasilnya tetap sama walau diulang berkali-kali; itulah yang disebut sebagai penelitian ilmu pengetahuan.
Pendapat Hume menjadikan aspek iman menjadi tidak memiliki makna. Kebenaran yang dipercayai seseorang dianggap sebagai suatu hal yang subjektif. Urusan iman tidaklah tentu dialami secara sama dan berulang oleh beberapa orang. Hal ini merupakan terpaan keras bagi kekristenan. Akhirnya orang menganggap agama bukanlah kebenaran dan tidak perlu ada sehingga atheisme pun semakin merebak dan terutama menerpa para ilmuwan.
Di tengah-tengah situasi seperti di atas muncullah Thomas Reid, seorang filsuf pendeta, yang berusaha menjawab Hume. Tokoh ini memang tidak terlalu terkenal tetapi pendapatnya banyak dipakai oleh kekristenan sampai abad ini. Menurut dia, Allah itu ada dan Allah telah menanam hukum-Nya di dalam alam. Ada isu besar dalam kekristenan yaitu: Allah/ Theologi dan dunia adalah 2 hal yang berdiri sendiri-sendiri; banyak orang Reformed yang memegang prinsip ini. Menurut Reid, Allah memang berada di atas sedangkan dunia ini di bawah tetapi Allah berelasi dengan manusia, dan Allah adalah kasih. Allah yang mengasihi tidaklah mungkin membenci manusia bahkan sampai membunuh dia. Allah yang kasih tidaklah mungkin dimengerti sebagai Allah yang murka, yang sampai menghukum manusia ke dalam kematian. Ketika manusia berdosa, manusia haruslah dihukum, tetapi bukan Allah yang menghukum, karena Allah telah menanam hukum-Nya dalam alam ini.
Menurut Reid, Allah yang kasih menginginkan segala sesuatu teratur, tidak ada manusia yang saling merugikan, dengan cara: Allah menanam hukum-Nya dalam alam ini, seperti: hukum gravitasi, hukum kosmologi, dll. Manusia menjadi berdosa ketika melanggar/ merusak hukum tersebut, dan efeknya adalah manusia menjadi celaka. Immanuel Kant meneruskan teori ini dengan mengatakan bahwa manusia harus hidup bermoral, bukan karena Tuhan melainkan karena memang sudah seharusnya, supaya hidup manusia menjadi lebih baik. Pendapat Reid ini seolah-olah bisa memberikan penyelesaian karena di satu sisi manusia tetap mengakui adanya Tuhan dan di sisi lain tetap hidup bermoral. Hukum moral adalah sesuatu yang objektif karena merupakan hukum yang ada di dunia ini, yang bisa diakui, diterima oleh banyak manusia. Secara sepintas, pendapat di atas seperti benar tetapi menimbulkan efek yaitu: moral menjadi urusan demokrasi. Muncullah demokrasi di abad ke-18 dan istilah realisme yang disepakati bersama (common sense realism). Kesepakatan bersama ini merupakan tekanan massa yang tampil seolah-olah semua sudah sepakat.
Pendapat Kant ini menguasai abad ke-18. Dosa tidak lagi merupakan urusan manusia dengan Tuhan melainkan urusan manusia dengan sesamanya dan dengan alam. Dosa tidak lagi bersifat vertikal melainkan sekedar urusan horizontal. Hal inilah yang dipegang oleh kebanyakan orang pada abad ini, termasuk juga orang Kristen. Inilah pemutarbalikkan yang dilakukan manusia di abad ke-18 dan ke-19 dan memuncak menjadi eksistensialis (pemusatan pada diri manusia) di abad ke-20. Muncullah teori bahwa penilaian/ penghakiman ditentukan oleh manusia. Hal ini berakibat pada munculnya perang dunia karena manusia merasa dirinya begitu hebat.
Yakobus mencoba memberikan penyelesaian dengan 1 kalimat yang dahsyat yaitu: hendaklah kamu menjadi pelaku Firman. Dosa memang berurusan dengan perbuatan. Menurut Reid, dosa hanyalah menyangkut relasi horizontal manusia dan diukur dari kesepakatan bersama manusia. Alkitab menyatakan bahwa dosa terjadi ketika manusia tidak menjadi pelaku Firman. Firman Tuhan menjadi dasar/ ukuran tindakan manusia. Kalau manusia bisa mengerti Firman secara tepat maka manusia tersebut akan mengerti apakah perbuatannya benar atau tidak. Begitu manusia salah menafsir Firman maka penilaian terhadap perbuatannya juga pasti salah. Jadi penilaian manusia tidaklah bisa lepas dari theologinya. Theologi menjadi begitu penting.
Dosa haruslah dimengerti sebagai sesuatu yang serius. Dosa adalah melawan Allah dan kebenaran-Nya. Ketika manusia melawan Allah dan kebenaran-Nya maka manusia itu memiliki musuh terbesar dan terfatal di dunia ini yaitu Allah sendiri, dan berakibat mencelakakan diri sendiri.
Menjadi pelaku Firman tidaklah mudah sehingga banyak orang yang menjadi terpecah hidupnya yaitu setuju dengan Firman tetapi tidak menjalankan-Nya. Penyebab kesulitan ini adalah terjadinya benturan antara kebenaran yang diterima dengan esensi dosa di dalam diri. Hal ini merupakan persoalan paradigma yaitu:
1) Tidak yakin bahwa Firman tersebut merupakan imannya.
Banyak orang yang sudah ke gereja puluhan tahun tetapi tidak pernah beriman Kristen, karena otorisasi tertingginya bukan Kristus, bukan Tuhan dan bukan Alkitab. Mereka mengakui otoritas Tuhan tetapi juga otoritas diri, bahkan diri yang lebih berhak menentukan. Kalau otoritas Tuhan di tempat tertinggi maka Firman Tuhan menjadi bermakna bagi kita.
Dalam sebuah perusahaan saja bawahan haruslah taat pada otoritas direktur; kalau tidak mau taat maka sebaiknya dia keluar dari perusahaan tersebut. Ketika manusia tidak mau taat kepada Tuhan maka dia akan membangun semangat demokrasi untuk mencari kesepakatan bersama.
2) Firman tidak bisa menjadi kepercayaan untuk kebenaran yang dijalankan.
Di tengah dunia plural seperti ini, Alkitab dijadikan salah satu dari sekian banyak tawaran yang ada. Alkitab tetap dipercaya sebagai kebenaran, tetapi bukan menjadi satu-satunya pegangan karena Alkitab dianggap kuno. Kebenaran sejati tidaklah berubah mengikuti zaman! Siapapun maupun apapun yang berubah mengikuti sejarah menunjukkan bahwa dia bukan kebenaran.
Pada zaman Yakobus, Alkitab juga berbentur dengan filsafat Grika Kuno dan ajaran mistik pada waktu itu. Alkitab sebagai kebenaran ketika diajarkan pasti akan berbentur dengan segala hal di sekitarnya. Ketika benturan itu terjadi pada diri kita, seberapa kita meyakini bahwa Alkitab itu adalah kebenaran satu-satunya karena keluar dari mulut Allah sendiri? Sang Pencipta pasti lebih tahu tentang ciptaan-Nya tanpa perlu meneliti terlebih dahulu, dan pernyataan yang keluar dari mulut-Nya pasti benar tanpa perlu menunjukkan bukti. Untuk mengerti tentang hidup manusia, kita harus bertanya kepada Penciptanya, dan Penciptanya sudah memberikan “buku petunjuk”-nya yaitu Alkitab. Alangkah konyolnya jika untuk mengoperasikan mesin mahal saja manusia rela mempelajari buku petunjuknya berulang kali dan dengan teliti tetapi untuk hidupnya manusia tidak mau belajar kepada “buku petunjuk” yaitu Alkitab.
3) Kita kurang mencintai Tuhan.
Ketika kita sungguh-sungguh mencintai seseorang maka kita akan berusaha menyenangkan hatinya dengan mengikuti apa yang dia mau. Manusia abad ke-21 sangat mencintai diri luar biasa, semuanya berpusat pada diri sehingga tidak ada lagi tempat bagi Tuhan. Makin kita mencintai Tuhan, makin kita mau menjalankan Firman Tuhan. Seberapa kita mencintai Tuhan, seberapa kita hidup menginginkan bijaksana dengan menjalankan yang Tuhan inginkan. Iman Kristen bukanlah iman di awang-awang melainkan iman yang menjalankan Firman Tuhan.
(Ringkasan Khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)