Ringkasan Khotbah : 25 Agustus 2013
Nats: Yakobus 1:19-21 Pengkhotbah : Pdt. Sutjipto Subeno |
Kitab Yakobus adalah kitab praktis, yang membicarakan tentang kehidupan praktis. Kehidupan praktis versi Alkitab berbeda terbalik dengan kehidupan praktis versi dunia. Beberapa ayat dalam Kitab Yakobus, jika ditafsirkan secara asal comot, mungkin masih bisa ditafsirkan menurut versi dunia. Tetapi jika seluruh Kitab Yakobus dieksposisi secara teliti dan berurutan maka akan terjadi kontradiksi tafsiran karena ada banyak aspek yang kelihatan bertentangan. Jadi untuk merenungkan Kitab Yakobus dengan memakai konsep Kristen maka kita harus masuk ke dalam paradigma/ cara pikir Alkitab, yang jauh lebih tinggi dan lebih dalam serta terbalik dengan apa yang dunia ajarkan.
Kehidupan praktis dalam kehidupan Kristen oleh Yakobus dimasukkan ke dalam 3 kelompok yaitu: 1) penderitaan/ kesusahan/ masalah hidup, 2) intelektual dan bijaksana, 3) uang. Ketiga kelompok ini oleh Yakobus diputar 4 kali. Kita sudah menyelesaikan pembahasan putaran pertama dari Kitab Yakobus (Yakobus 1:1-11). Pembahasan putaran kedua sudah menyelesaikan tentang penderitaan (Yakobus 1:12-18), dan hari ini kita akan masuk ke dalam pembahasan tentang intelektual dan bijaksana (Yakobus 1:19-27), yang akan dibagi menjadi 3 kali pembahasan.
Dalam putaran pertama mengenai intelektual dan bijaksana telah diajarkan agar manusia tidak hidup berorientasi kepada kepandaian. Alkitab membukakan kepada kita bahwa kepandaian tidaklah menolong apapun. Yakobus 1:19 berisikan tentang isu umum yang ada di sekitar kita, yang merupakan kebenaran umum yang dibukakan kepada kita. Ayat ini mengatakan: saudara-saudara hendaklah cepat untuk mendengar tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah. Hampir semua orang tahu bahwa dengan mendengar dan diam kita bisa mendapatkan pelajaran, sedangkan jika cepat untuk bicara maka cenderung banyak salah lalu marah.
Walaupun banyak orang yang sudah tahu akan hal di atas, Yakobus tetap mencantumkannya karena faktanya kehidupan manusia berlawanan dengan apa yang seharusnya. Ketika berhadapan dengan situasi tertentu, manusia cenderung untuk lebih cepat bicara, melawan dan marah. Hal ini disebabkan karena adanya semangat superioritas, yaitu: manusia tidak mau kalah, tidak mau berada di posisi kedua, maka siapa yang lebih cepat dia akan lebih menang, dan jika dia kalah maka dia akan marah agar tetap kelihatan hebatnya.
Pada putaran pertama telah dibahas bahwa manusia sibuk untuk menunjukkan bahwa dirinya pintar. Dunia kita dilatih dengan jiwa kompetitif, sehingga berakibatkan kita tidak mau kalah dan akhirnya berujung pada kejahatan antar setiap kita. Dunia juga menanamkan bahwa kalau seseorang lebih pandai dari orang lain maka dia lebih hebat. Alkitab menyatakan bahwa kepandaian dan kedewasaan adalah 2 unsur yang berbeda. Janganlah kita mengira bahwa dengan kepandaian kita bisa sukses di dunia ini. Kenyataan yang ada adalah banyak orang yang pandai tetapi tidak bisa sukses dalam hidupnya karena ketika dia menonjolkan kepandaiannya, dia justru bunuh diri dengan kepandaiannya itu. Ketika dia merasa diri pandai, dia tidak mau mendengarkan orang lain bicara, sehingga dia tidak pernah belajar apapun, maka sama dengan dia bunuh diri. Dengan diam dan melihat kita justru membuka masa depan kita. Bersikaplah dewasa!
Beberapa waktu yang lalu seorang rekan kita, yang sedang belajar di Amerika, membagikan hasil diskusinya dengan seorang profesornya, demikian: anak-anak sekarang akibat terpaan gadget menjadikan hidupnya berorientasi kepada layar. Dunia remaja saat ini berhubungan dengan layar yang bergerak cepat sekali, sehingga mereka dilatih untuk terampil tetapi tanpa perlu berpikir, akibatnya mereka bisa menjadi pintar tapi tidak terbiasa berpikir atau tidak bijaksana. Hasil penelitian menyatakan bahwa intelektualitas anak-anak berkembang pesat tetapi kedewasaan mereka justru sangat menurun, sehingga anak usia 8 tahun, 30 tahun yang lalu, tingkat kedewasaannya baru dapat dicapai oleh anak usia 11 tahun, pada saat ini, dan tingkat dewasa yang dicapai pada usia 22 tahun, 30 tahun yang lalu, baru dapat dicapai pada usia 30 tahun, pada saat ini. Kesenjangan ini disinyalir tambah lama bertambah besar. Anak-anak sekarang memang jauh lebih pandai daripada anak-anak 30 tahun yang lalu, tetapi mereka tidak bisa menghadapi sedikit kesulitanpun, mereka tidak bisa mempertimbangkan dengan benar dalam mengambil keputusan sehingga banyak kesalahan yang mereka lakukan. Jadi, yang diperlukan bukan sekedar pandai tetapi juga kedewasaan.
Orang tua sekarang ini janganlah menyamakan dirinya dengan anak-anaknya karena tingkat kesulitan hidup dulu adalah berbeda dengan sekarang ini. Tantangan yang dihadapi oleh anak-anak kita sangatlah berbeda, bahkan sangat menakutkan. Kita haruslah meletakkan pendidikan spiritualitas dan karakter di atas intelektualitas dan ketrampilan. Kita harus mendidik anak-anak agar berkarakter/ bermental dewasa.
Dengan cepat mendengar dan lambat untuk bicara maupun marah akan menjadikan bijaksana. Pada pembahasan putaran pertama, Alkitab menyatakan untuk kita meminta hikmat kepada Allah, bukan minta pandai. Kita membutuhkan bijaksana dalam hidup ini. Bijaksana adalah kemampuan kita dengan dewasa mempertimbangkan semuanya persis seperti yang Tuhan mau, bukan berdasarkan egois/ ambisi kita. Dengan kebijaksanaan inilah kita akan selalu membuat Tuhan disenangkan oleh tindakan kita karena sesuai dengan yang Tuhan kehendaki. Dunia menganggap sebagai bijaksana ketika cepat mendengar dan lambat bicara, tetapi Alkitab tidak hanya sampai di situ.
Yakobus 1:21 menyatakan: Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu. Ketika mendengar kita memang belajar, tetapi belajar apa? Dunia berpikir bahwa dengan induksi kita belajar sesuatu, tetapi justru hal ini merupakan kegagalan. Studi induksi adalah mengumpulkan data. Di balik data terdapat opini/ pikiran/ pemahaman prinsip, dengan kepercayaan tertentu di balik semuanya itu. Alvin Toffler menyatakan bahwa memakai sistem induksi di era informasi sekarang ini bisa mengakibatkan kita “habis” di dalam belantara informasi. Ribuan opini masuk ke kepala kita tetapi kita tidak tahu harus melakukan apa dengan semuanya itu. Lebih celaka lagi kalau kita juga ikut menambah jumlah opini yang ada karena akan menambah keruwetan. Dampak ekstrimnya adalah mari kita tutup telinga, sehingga kita cenderung cepat untuk bicara dan marah, bukannya cepat untuk mendengar. Inilah putaran keruwetan jika kita masuk ke dalam “bijaksini”. Kita memerlukan bijaksana, karena pada Tuhanlah terdapat motivasi yang paling murni. Tuhan menggunakan metode deduksi untuk mendidik umat-Nya. Alkitab yang menjadi dasar deduksi. Deduksi Alkitab membawa semua pengertian ke tengah dunia, mengkritisi semua opini/ pandangan/ data dengan berdasarkan Firman. Kekuatan Firman begitu dahsyat dan harus diletakkan di atas semua informasi yang ada. Ibaratnya, kalau kita tidak mau tersesat di dalam hutan maka kita harus memegang kompas sebagai sesuatu yang absolut/ mutlak. Dengan kompas tersebut kita tidak perlu mempedulikan pohon tertanam di sebelah mana tetapi kita harus selalu memperhatikan ke sebelah mana kita harus menghadap.
Firman Tuhan yang tertanam dalam hati, dalam bahasa aslinya mengandung pengertian: Firman Tuhan yang terukir di dalam hati. Praktis versi Kristen akan menjadikan kita dengan lembut membuat Firman itu bisa terukir dalam hati kita. Orang Kristen seharusnya bukan hanya cepat mendengar dan lambat untuk bicara dan marah, melainkan dia dapat menjadikan dirinya dengan lembut membiarkan Firman itu terukir dalam hatinya. Inilah bijaksana terbesar. Kalau kita cepat bicara dan marah maka kita akan membuat hati kita sulit untuk menjadi tempat yang lembut bagi Firman itu untuk diukirkan padanya.
Dengan belajar Firman baik-baik maka kita akan memiliki pemahaman terhadap dunia ini dengan jauh lebih baik. Orang demikian ini dikatakan lebih bijaksana. Firman Tuhan, yang terukir dalam hati kita, akan membuat kita menjadi sangat waspada terhadap pergerakan yang ada dalam dunia ini. Ketika kita kembali kepada Firman, mata kita akan melihat semua hal dari sudut Firman Tuhan. Kita boleh mendengarkan semua opini yang ada, tetapi janganlah menjadikan semuanya itu sebagai pegangan. Hanya Alkitab yang boleh dijadikan pegangan dalam hidup kita. Firman Tuhan yang terukir dalam hati kita memiliki kuasa untuk menjadikan kita lebih bijaksana.
Kalau kita mau ilmu pengetahuan lalu membuang Firman Tuhan, maka hal itu merupakan sebuah kebodohan karena berarti kita cari mati. Kekristenan di abad pertengahan berdiri di atas 2 pilar besar yaitu Anselm dan Aquinas. Keduanya berdiri di atas sebuah pilar besar sejarah Gereja yaitu Augustinus. Anselm dan Aquinas berasal dari keluarga Benedictine (menganut ajaran Biara Benediktus), yang sangat ketat dalam hal rohani. Dalam perjalanan iman mereka, Anselm terus bertumbuh dan berdiri teguh dalam jalur Benedictine, sedangkan Aquinas, yang merasa perlu mengejar akademis lalu mengambil kuliah di luar kota dan mengikuti pemikiran Aristoteles. Di kampus tempat Aquinas belajar terdapat filsuf besar yang mengkawinkan filsafat Aristoteles dengan agama Islam, juga terdapat filsuf besar yang mengkawinkan filsafat Aristoteles dengan agama Yahudi. Aquinas kemudian mengkawinkan filsafat Aristoteles dengan agama Kristen, dan dia meninggalkan arus Benediktus. Inilah sebuah contoh akibat dari pendidikan yang tidak meletakkan iman di posisi paling atas, Firman tidak diletakkan di posisi tertinggi. Pikiran Aquinas tidak kembali kepada Firman, Theologi Natural dia yang terkenal bukanlah dibangun di atas iman Kristen, tetapi pikiran Aristoteles yang dimasukkan ke dalam iman Kristen. Dari contoh ini dapat disimpulkan: seberapa bijaksana kita kembali kepada Firman Tuhan akan menentukan perjalanan iman kita.
Seberapa pentingkah kita harus kembali kepada Firman yang terukir dalam hati kita? Yakobus 1:20, 21 (tertulis: … Firman yang terukir di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu) menjawab pertanyaan ini. Kalau kita berhadapan dengan dunia ini dengan memakai emosi dan ambisi kita maka semuanya itu tidak ada artinya di hadapan Tuhan, dan semuanya itu tidaklah berkuasa untuk menyelamatkan jiwa. Kehebatan/ kedewasaan/ bijaksana seseorang tidaklah berkaitan hanya dengan masa kini tetapi harus mampu mengatur gerak kita menuju ke masa depan. Pemain catur yang hebat bukan hanya memikirkan 1 langkah ke depan tetapi harus bisa mempertimbangkan sampai 5 langkah ke depan. Dalam kehidupan ini, kita harus bisa mempertimbangkan setiap langkah yang akan diambil sampai jauh ke depan. Bijaksana bukan hanya menyangkut langkah jauh dalam kehidupan di dunia ini, tetapi juga mengkaitkan kekekalan dengan kekinian. Langkah yang kita ambil akan menyangkut arah hidup kita dalam kekekalan kelak (ke surga ataukah ke neraka). Dunia tidak bisa mengkaitkan hidup praktis dengan keselamatan kita dalam kekekalan. Untuk itu diperlukan bijaksana. Bijaksana memiliki kekuatan yang memampukan kita menggandeng kesementaraan dengan kekekalan.
Augustinus dan Calvin mengatakan bahwa mengenal Allah dan mengenal diri akan membawa kita mengenal semuanya yang lain. Hal ini berarti: mengkaitkan kekekalan dan kesementaraan akan membawa kita mengkaitkan kesementaraan dengan seluruh sejarah, dan barulah kita menjadi bijaksana.
(Ringkasan Khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)