RESENSI BUKU

The Culture of Interpretation: 

Christian Faith and The Post-modern World

Roger Lundin, The Culture of Interpretation: Christian Faith and the Post­mo­dern World, Grand Rapids: Michigan: Wm.B. Eerdmans, 1993.

272 hal.; uk.15x23 cm.

ISBN: 0-8028-0636-8

                           oleh: Sutjipto Subeno S.Th., M.Div.

Penulis, yang adalah profesor bahasa Inggris di Wheaton College, seorang peng­amat hermeneutika dan menulis beberapa buku dalam topik ini. Sebagai seorang ahli dalam bidangnya, maka masalah bahasa dan budaya merupakan studi utamanya.

Buku ini menyoroti “budaya penafsiran” yang merupakan produk penting dari post­mo­­dernisme. Memang konteks pembicaraannya secara spesifik berkaitan dengan budaya Ame­rika Serikat, yang saat ini sangat dipengaruhi postmodernisme, dan bagaimana buda­ya penafsiran yang ada telah mempengaruhi iman Kristen, bahkan pola penafsiran Kris­ten.

Buku ini mengungkapkan bahwa budaya begitu penting dan berpengaruh bagi manusia, termasuk juga orang Kristen dan iman Kristennya. Budaya yang sekarang sedang berkembang pesat dan menguasai dunia adalah budaya postmodern. Oleh karena itu, Kekristenan harus sangat peka dan berhati-hati akan pengaruh budaya ini ke dalam teologi dan iman Kristen. Budaya yang terpenting dari budaya postmodern ini adalah budaya penafsiran.

Budaya Amerika Serikat berada di dalam dua tegangan, yaitu: (1) Edukasi Libe­ral dan (2) Tradisionalis; dan justru di tengah ketegangan ini, iman Kristen perlu mem­­posisikan diri dengan tepat dan memberikan sumbangsihnya dengan tepat pula. Dunia postmodern telah mencetuskan perubahan paradigma hermeneutika sebagai suatu upaya pencarian berbagai cara untuk menjadikan teks yang terhina masih bisa diterima oleh pembaca yang skeptis. Hermeneutika tidak lagi dipandang sebagai upaya penjelasan kebenaran teks yang otoritatif. Yang diperlukan kini adalah ima­jinasi dari batiniah manusia.

Dalam argumentasinya, penulis mendiskusikan Emerson, Hawthrone, dan Libe­rasi-Marxisme. Tindakan keluarnya Ralph Waldo Emerson dari jabatan gerejani untuk alasan lebih bisa melayani, mencetuskan satu semangat sekularisasi di dalam kehidupan Kekristenan, dan membawa Kekristenan lebih kepada “bersandar-pada-diri” (self-reliance). Disini budaya Kristen mengalami perubahan paradigma. Hawthrone dengan novel terkenalnya The Scarlet Letter telah menelanjangi dan merusak gagasan puri­tanisme, dan menganggap sikap sedemikian sebagai suatu kemunafikan di dalam gereja, dan menuntut Kekristenan lebih “realistis” terhadap kehidupan sekuler. Dan pikiran ini difinalkan oleh Karl Marx, yang membawa Ke­kris­tenan kepada kematiannya dengan me­lakukan liberalisasi total.

Untuk ini, beberapa hal ditekankan oleh Lundin untuk kita bisa menghadapi dekon­struksi postmodern dengan semangat integratif: (1) Kita harus mampu membedakan apa yang kita setuju dan tidak setuju. (2) Kita memiliki kuasa yang bukan dari diri kita sendiri, tetapi dari Allah, yang membawa kita pada pengertian akan Kristus, yang menjadi satu-satunya sumber kebenaran kita. (3) Kembalinya kita kepada otoritas Firman, karena “pada mulanya adalah Firman.”

Di dalam pengungkapannya, terlihat sekali penguasaan penulis dalam bidang seni, khususnya sastra, yang merupakan bidang studi utamanya. Seperti komentar dari George M. Marsden, profesor University of Notre Dame, bahwa karya ini merupakan salah satu karya ilmiah yang sangat perlu diperhitungkan, khusus di dalam menganalisa integrasi kekristenan di tengah-tengah budaya postmodern saat ini (seca­ra spesifik di Amerika Serikat). Jika kita perhatikan, masalah ini tidak perlu dibatasi hanya di Amerika Serikat, karena sebagian besar gejalanya juga sudah tiba di Indonesia, dan sisanya pun akan datang segera. Ada baiknya jika banyak orang Kristen yang mampu mengantisipasi “budaya penafsiran” yang sedang dan akan merajalela di sekitar kita ini.?