RESENSI
BUKU
God
Centered Biblical Interpreter
Vern S.
Poythress, God Centered Biblical
Interpretation, Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed
Publ., 1999.
238 hal.;
uk.15x23 cm.
ISBN:
0-87552-376-5
oleh: Sutjipto Subeno S.Th., M.Div.
Penulis adalah seorang profesor Perjanjian Baru di Westminster Theological Seminary, Philadelphia. Alumni dari University of Cambridge (M.Litt.), Harvard University (Ph.D.), dan University of Stellenbosch, Afrika Selatan (Th.D.), adalah penulis yang cukup produktif. Karya-karyanya seperti Understanding Dispensationalists, Science and Hermeneutics: Implication of Scientific Method for Biblical Interpretation, Symphonic Theology: The Validity of Multiple Perspectives in Theology, dan The Shadow of Christ in the Law of Moses, merupakan buku-buku yang sudah banyak diterima di kalangan Kristen.
Bagi Poythress, menafsir Alkitab tidak sama dengan menafsir buku-buku atau suatu realita tertentu. Penafsiran Alkitab merupakan suatu pengenalan dan studi, dimana menafsir Alkitab adalah belajar dari Allah Tritunggal yang memberikan wahyu Alkitab itu untuk kita belajar bagaimana kita menafsir. Maka penafsiran Alkitab tidak mungkin dilakukan secara “obyektif” secara manusiawi dan duniawi, tetapi harus obyektif dari sudut pandang pemberi wahyu, yaitu Allah sendiri.
Ketika menafsir Alkitab, seorang Kristen haruslah dimulai dengan pengenalan akan Allah yang tepat, sesuai dengan kebenaran yang dinyatakan melalui Firman. Disini terjadi suatu proses timbal balik, dimana Roh Kudus berperan sebagai katalisatornya. Oleh karena itu, tanpa ia menjadi orang percaya terlebih dahulu, seluruh penafsirannya akan menjadi murni subyektif dan tidak mungkin mendapatkan kebenaran Alkitab secara utuh.
Di tengah budaya dunia, kita berhadapan dengan dua tegangan, antara otoritas strukturalis dan modernisme dengan relativitas-dekonstruksionis dari postmodernisme. Iman Kristen justru melihat paduan dari keduanya, yang oleh Poythress ditegaskan sebagai “Pendekatan Kata-Gambar” (Image-Word Approach). Firman didekati dengan pendekatan “kata” untuk mendapatkan arti kata secara proposisinya. Tetapi di lain pihak Firman tidak hanya didekati dengan pendekatan kata, tetapi juga secara gambar, yaitu apa yang mau dilukiskan melalui kata itu, sehingga makna akan bisa lebih kaya dan melampaui apa yang sekedar tertulis. Pendekatan seperti ini hanya bisa diperoleh jika kita melihatnya dari sudut Tritunggal.
Pendekatan simultan dari dua arah ini merupakan pendekatan yang baik sekali bagi hermeneutika, namun keduanya tetap tidak bisa dilepaskan dari pendekatan Tritunggal. Untuk ini, maka Allah harus selalu menjadi pengontrol dan Kristus menjadi pusat interpretasi. Tanpa itu, penafsiran akan keluar jalur dan menghasilkan suatu kesesatan.
Penulis mengkritik seluruh pendekatan hermeneutika yang dimulai dari pendekatan manusia dan budaya. Hal ini dikategorikan sebagai “idol” (berhala), dimana penafsiran keluar dari inti dan pusat penafsiran itu sendiri. Beberapa pendekatan sebagai pendekatan liberal, pendekatan respon-pembaca (reader-response), dan pendekatan naturalis-saintis, ditolak keras karena tidak sesuai dengan natur Firman Tuhan itu sendiri.
Satu hal yang cukup menarik dalam buku ini, adalah pendekatan yang diambil adalah dengan menggunakan format dialog yang menggambarkan implikasi dari posisi-posisi tertentu. Dengan demikian, pembaca akan bisa segera “merasakan” dimana posisi sesungguhnya dari si pembaca sendiri untuk mendapatkan dampak yang maksimal dari pembacaan buku ini.?