Eksegese Narasi :
TINJAUAN TERHADAP METODE PENAFSIRAN ALKITAB
Thomy J. Matakupan
Pendahuluan
Perkembangan metode cara menafsirkan Alkitab secara khusus pada tahun 70-an ditandai dengan adanya pengaruh dari aliran strukturalisme yang mulai mempermasalahkan berbagai metode eksegese yang dipakai selama ini.[1] Metode struktural ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan ilmu bahasa yang kemudian mempengaruhi di dalam bidang sastra. Penyelidikan terhadap karya sastra sebagai cerita kemudian membawa pengaruh terhadap metode tafsir. Bentuk cerita (narasi) dianalisa dan diperbandingkan satu sama lain dalam usaha memahami apakah maksud penulis yang tersembunyi di balik cerita yang disampaikannya itu.
Eksegese dengan menggunakan metode strukturalis ini menggunakan anggapan bahwa hanya dengan memperhatikan setiap teks yang ada sudah cukup untuk menangkap maksud penulis. Hal-hal sebagaimana yang dianggap sangat penting seperti penyelidikan latar belakang sejarah, konteks jaman, siapa penulis dan penerima pertama dari suatu surat/kitab tertentu di dalam Alkitab dianggap tidak perlu lagi menempati tempat utama di dalamnya. Cara sedemikian, di kalangan para ahli tafsir disebut dengan istilah “close reading.”
Di dalam konteks metode struktural semacam inilah muncul eksegese narasi yang pada dasarnya mempunyai kemiripan karena juga memusatkan perhatian hanya pada teks dan tidak terlalu merasa perlu bertanggung jawab semua aspek lain yang ada di belakang teks tersebut. Pada akibatnya, cara pandang semacam ini mengakibatkan apresiasi yang sedemikian tinggi terhadap suatu teks tertentu.
Metode eksegese ini pada akibatnya memberikan proposal baru bagaimana mendekati Alkitab dengan cara memahami suatu cerita dan juga memakainya dengan kaidah-kaidah yang tepat dan efektif. Tidak dapat dipungkiri pula perkembangan keilmuan dalam bidang bahasa dan sastra juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit di dalamnya. Metode ini diharapkan dapat memperkaya pekerjaan menafsirkan dan menyimpulkan suatu teologia tertentu atau makna yang terkandung dalam suatu cerita, baik itu cerita lisan dalam tradisi masyarakat dalam bentuk teks tertulis. Itulah sebabnya cara baru ini kemudian menimbulkan semacam kegairahan baru di dalam semangat menggali dan memahami setiap kebenaran yang ada di dalam Alkitab. Banyak buku mulai ditulis dan berusaha menyatakan setiap detail bagaimana menggunakan dan menarik kemanfaatan dari metode baru ini.[2]
Pengertian
Adalah seorang yang bernama Robert Alter[3] di dalam bukunya, The Art of Biblical Narrative, ia mencoba membawa pembaca menggali dan menghargai seni-seni di dalam Alkitab oleh karena setiap cerita yang ada di dalamnya sarat dengan makna. Ia mencoba mengungkapkan berbagai macam seni cerita yang ada di dalam Alkitab dan mengajak setiap pembaca untuk lebih menghargai setiap seni itu sekaligus mencari makna yang ada di dalamnya.
Di dalam usahanya ini, ia mulai beranjak dari pendekatan eksegese selama ini yang dianut oleh para pakar yang menggunakan metode historikal-gramatikal. Ia mengajak untuk bergeser dari analisis struktur formal ke pengertian-pengertian yang lebih mendalam terhadap nilai serta pandangan moral yang terwujud dalam sebuah narasi. Di dalam upayanya ini, Alter menggunakan pendekatan Midrash, yaitu menggabungkan menjadi satu kesatuan dari teks-teks yang berbelit-belit.[4] Menurutnya tidak ada ayat atau perikop yang merupakan tambahan atau sisipan yang lepas dari rangkaian cerita, melainkan saling terkait dan berkesinambungan.[5] Ini adalah cara yang baik untuk melihat Alkitab secara utuh.
One of the attractions a narrative approach to the Bible offers is its way of seeing the Bible as a whole. Educational research has established that the biggest variable in a learner’s ability to assimilate data is the presence or absence of a unifying framework within which to place individual items. Viewing the Bible as a story provides such a framework for the Bible as a whole.[6]
Cerita-cerita di dalam Alkitab menyatakan tindakan atau perbuatan aktual yang terlalu beragam dan bahkan tidak teratur untuk di kategorikan di dalam suatu kerangka sistimatis tertentu.
Selain itu, Alter juga mengasumsikan sebuah tafsiran tertentu tidak harus akan disetujui oleh pembaca. Ia mencoba memfokuskan diri hanya pada hal-hal yang unik dalam seni cerita Alkitab, misalnya seni dalam kata-kata, seni dalam tindakan, seni dalam dialog, seni dalam cerita. Yang penting adalah memperhatikan bagaimana penulis cerita mengungkapkan sebuah pesan tertentu dengan menggunakan berbagai cara seni-seni tersebut. Meskipun demikian tidak berarti ia menolak teks yang pernah dipikirkan memiliki arti absolut. Yang perlu ditegaskan adalah bahwa ia menolak doktrin kontemporer tentang semua makna literar. Alkitab sendiri yang akan berbicara dan bercerita melalui berbagai seni yang ada di dalamnya. Dengan demikian pembaca akan lebih dekat dengan makna yang dimaksud Alkitab, baik makna teologi, moral, psikologi maupun makna lainnya.
Alter sangat memberikan perhatian pada “close reading,” maksudnya dengan membaca seperti ini pembaca akan ditolong memelihara aspek-aspek tertentu di dalam pikiran untuk kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu agar dapat memahami secara tepat cerita Alkitab yang menurutnya sangat singkat dan dinyatakan secara halus.
Berpikir Kritis-Literaris
Realita sastra dari Alkitab dapat dipelajari dengan menggunakan metode berpikir kritis-literaris. Cara kritis-literatis ini berbeda dengan pola historis-kritis dari kelompok H. Gunkel. Ada dua istilah yang diusulkan, yaitu “Narratologi” dan “poetic of narrative” di dalam kritis-literaris. Baik “Narratology” yang muncul tahun 1976 maupun “Poetician” yang muncul tahun 1982 memiliki pengertian sejalan yaitu studi terhadap naratif teks. Keduanya mengambil pengertian sastrawi sebagai dasar penyelidikan.[7] Meir Sternberg memberikan beberapa anggapan dasar di dalam studi kritis-literaris ini[8].
1. Pendekatan terhadap Alkitab sebagai literatur berarti memberikan penekanan kepada teks itu sendiri. Dengan kata lain, sama sekali tidak mempertimbangkan latar belakang dan sejarah sebagaimana yang biasa dilakukan di dalam metode penelitian hermeneutik yang digunakan selama ini.
2. Mengasumsikan adanya kesatuan teks.
3. Fokus perhatian ditujukan pertama-tama pada bagaimana sebuah teks distrukturkan.
4. Realita sastra dipahami sebagai metode-metode kritis-literaris yang digunakan oleh setiap teks Alkitab
Sebagai sebuah literatur, Alkitab akan mempunyai kedudukan yang sama dengan berbagai macam literatur lainnya. Hal ini dikatakan sebagai benar apapun alasannya Alkitab itu dihargai apakah sebagai laporan karya Tuhan dalam sejarah (His-story) atau sebagai penuntun di dalam keputusan etis.[9]
Prinsip Eksegese Narasi : Bagaimana Membaca sebuah Cerita
Bagaimanakah kiranya cara Alkitab menjalin sebuah komunikasi dengan pembacanya? Cerita Alkitab di dalam metode narasi merupakan suatu ungkapan tertulis dari suatu fakta tertentu. Cerita yang dipaparkan sebenarnya sedang menunjukkan kepada pembaca suatu dunia lain yang disebut sebagai “Dunia cerita.” Dunia cerita ini menjadi semacam sarana/alat yang dipakai penulis untuk mengungkapkan “sesuatu” yang bukan hanya sekedar sebuah gambaran yang bersifat fiksi belaka, melainkan sebuah gambaran yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia ini semua benda yang muncul adalah sebuah konsep dan sama sekali tidak menunjuk kepada benda itu ansich. Walaupun tidak diragukan bahwa benda cerita itu bersumber dari sejarah yang sungguh-sungguh terjadi.
Stories are full of the concrete experiences of everyday life. Storytellers are never content with abstract propositions. Their impulse is to show, not merely to tell about event. Stories help readers relive an experience in the order in which the events happened and as vividly as possible. Stories incarnate their meaning in concrete form.[10]
Ketika seseorang atau pembaca ingin mengerti apa yang dimaksud oleh penulis di dalam ceritanya, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah masuk ke dalam dunia cerita yang dibangun oleh penulis tersebut. Di sini berarti dunia cerita tersebut menjadi sebuah objek penelitian. Dapat dikatakan, proses eksegese narasi dan semua kerumitannya terjadi di dalam dunia ini. Kondisi semacam ini sekaligus berarti pembaca akan memasuki dunia pemikiran teologia dari penulis atau iman penulis. Semua dinamika pergumulan imannya menjadi begitu dekat dan menjadi bagian yang dialami juga oleh pembaca. Setiap detail pergumulan iman penulis menjadi begitu nyata sehingga pembaca dapat merasakan bagaimana pengalaman itu secara pribadi. Hal ini berarti pula terbukanya kesempatan dialog iman antara penulis sebagai sumber iman dengan pembaca. Komunikasi iman semacam ini yang menjadikan cerita itu hidup dan sekaligus menjadi “milik” pembaca pula. Pergumulan iman yang begitu konkrit dimunculkan dengan cara yang sangat nyata dengan cara penulis membawa setiap pembaca ceritanya untuk mengalami dan menghayati peristiwa tersebut. Pembaca diajak menghayati peran dari tokoh utama, situasi dan segala aspek yang ada di dalam cerita. Dengan cara semacam ini jarak antara penulis Alkitab dan pembaca kontemporer menjadi semakin kecil, demikian pula antara pembaca (ahli tafsir) dan jemaat.
Metode Eksegese Narasi
Dalam mengerjakan eksegese narasi, seorang penafsir harus bertindak berada di bawah penulis untuk menghindari adanya kerancuan posisi antara dirinya dan penulis. Di sini pembaca harus melihat dan mengerti semua yang ada di dalam teks dari sudut pandang penulis (the narrators point of view). Hal ini harus dilakukan oleh karena setiap penulis memiliki cara pandang, sikap, perilaku, perasaan dari setiap pemeran yang dimunculkan di dalam ceritanya. Oleh karena itu pembaca harus mengajukan berbagai pertanyaan di dalam usahanya mengerti apakah yang dapat diberikan oleh sebuah pembacaan di dalam cerita Alkitab bagi kehidupannya, misalnya seperti apakah karakter dari subjek di dalam pembacaannya? Bagaimanakah komunitas subjek dan bagaimanakah relasinya dengan subjek tersebut? Bagaimana konteks dan relasi yang ada di dalamnya menajamkan peranan subjek? Apakah yang menjadi worldview yang dapat memberikan pengertian keutuhan cerita itu? Apakah yang menjadi pusat keyakinan antara subjek dan komunitas? Apakah yang menjadi central image atau metafora (baik bersifat teologis, biblical, moral, etika, dsb) yang dapat memberikan pengertian kehidupan subjek pada masa itu dan apakah artinya serta bagaimana semua hal ini dapat memberikan sebuah pengertian di dalam kehidupan iman Kristen?[11]
Berdasarkan pada prinsip dan metode di atas, kemudian di bangun semacam dasar bagaimana mendekati Alkitab dengan cara eksegese narasi ini.
1. Allah akan selalu menempati posisi karakter pusat. Alkitab adalah cerita tentang Allah. Itulah sebabnya perlu diwaspadai karakter sentral yang lain, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial, sejarah atau ilmu tidak dapat mengambil alih posisi ini.
2. Narasi tidaklah merupakan sebuah laporan data yang utuh dan karena itu tidak akan memberikan jawaban terhadap setiap pertanyaan yang pembaca ajukan.
3. Alkitab tidak selalu memberikan pengajaran secara langsung. Alkitab bukanlah sebuah proposition tentang segala sesuatu. Kerap pengajaran Alkitab bersifat tidak langsung dan bersifat interaktif, bahkan memanggil kita untuk memutuskan apakah yang menjadi inti atau pesan yang hendak disampaikan, dan apakah setiap karakter yang ada di dalamnya bertindak sebagaimana seharusnya.
4. Tidak semua narasi memberikan pesan yang positif. Narasi memang mencoba mengungkapkan suatu kehidupan yang nyata, namun karakter yang ada di dalamnya tidaklah selalu merupakan seorang pahlawan. Terkadang mereka menunjukkan sikap yang menurut pembaca tidak seharusnya dilakukan olehnya. Terkadang pula, hal-hal seperti berdoa ditunjukkan dengan cara yang negatif untuk menunjukkan cara yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang ketika mendekati Allah.
5. Konteks mempunyai tempat yang penting. Setiap perkataan tidak langsung secara otomatis memiliki pesan moral; cerita yang lebih utuh selalu menjadi bingkai untuk menetapkan apakah arti dari sebuah perkataan di dalam cerita tertentu.
6. Narasi harus menjadi titik tolak memahami narasi itu sendiri, bukan memakai berbagai elemen yang ada di luar dan memasukkannya ke dalam cerita, kecuali elemen tersebut menjadi bagian dari setting cerita. Itulah sebabnya narasi harus dipahami dari konteks yang lebih besar.
7. Setiap elemen yang ada di dalam cerita adalah pembimbing untuk memahami arti yang ada. Ada banyak petunjuk atau tanda di dalam sebuah cerita. Terkadang hal ini disebut sebagai konteks dekat. Misalnya apakah sebuah cerita harus dibaca secara sarkastik atau ironis perlu memperhatikan setiap petunjuk yang ada di dalamnya. Mengabaikan setiap petunjuk yang diberikan akan menghilangkan inti cerita.
8. Narasi tidak akan memberikan sebuah model yang bersifat langsung dari sudut historis dan konteks budaya pada sebuah cerita oleh karena pembaca pada masa ini tidak akan dapat berbagian di dalamnya. Itulah sebabnya tindakan dari setiap karakter yang ada di dalam Alkitab tidak secara langsung memberikan pembaca norma hidup untuk kehidupan di dalam konteks pembaca – walaupun memberikan ilustrasi secara positif atau konsekuensi secara negatif dari sebuah tindakan tertentu.
9. Aplikasi sebuah pesan dari narasi harus dimengerti di dalam konteks yang memberikan beberapa dimensi dari cerita yang ada. Dengan kata lain, semua narasi bukanlah kebenaran tentang segala sesuatu; they are “incarnated” truth. Sebuah cerita tidak dapat digunakan untuk menyatakan sesuatu.
10.Narasi biblikal bukan dan tidak akan pernah menjadi atau mengembangkan sebuah sistimatik teologi. Narasi biblikal muncul sebagai sebuah komunitas iman yang merefleksikan dan menjadi sebuah proses dari cerita tentang Allah di dalam cara berpikir, situasi, kondisi serta kebutuhan yang berbeda dari sebuah komunitas iman tertentu.
Sumbangsih : Metode Penafsiran yang dapat diterima?
Memang perlu diakui bahwa penggunaan metode narasi di dalam upaya mendekati, memahami dan mengaplikasikan isi Alkitab menjadi sebuah cara baru yang sangat menarik. Betapa tidak! Pada waktu seseorang membaca Alkitab, ia dibawa masuk menelusuri setiap pergumulan yang terjadi pada masa lalu, ke dalam dunia cerita yang diciptakan penulis. Dunia itu menjadi begitu nyata dan membawa setiap pembaca “hadir” di sana dan terjun ke dalam setiap peristiwa yang terjadi tersebut. Merasakan dan mengalami secara nyata setiap detail kejadian.
Melalui jalan masuk ke dalam dunia cerita ini, apabila kemudian pembaca “disadarkan kembali” ke dalam dunia saat ini, ia akan banyak sekali ditolong untuk memahami realita pergumulan iman yang seharusnya dimasukinya. Sebuah pergumulan iman dengan titik tolak yang benar oleh karena ia “pernah hadir di sana.” Sehingga jika kemudian sebuah tuntunan di dalam pergumulan imannya dibangun, maka akan berada pada dasar pijak yang tepat, dasar pijak yang sama seperti yang dialami oleh penulis di dalam setting ceritanya itu. Misalnya bagaimana seorang pembaca Alkitab dapat memahami catatan yang ada di dalam kitab Yudas 4, “… mereka adalah orang-orang yang fasik … dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Yesus Kristus.” Kitab ini memang diakui oleh para ahli, ditulis Yudas, adik kandung dari Yesus Kristus. Pertanyaan yang dimunculkan di sini adalah bagaimana pergeseran pengakuan iman dari melihat Yesus Kristus dari seorang kakak – oleh karena lahir dari satu rahim yang sama, pernah tinggal di dalam satu atap, dsb menjadi melihat Yesus Kristus sebagai Tuhan. Pergeseran ini pasti tidak mudah untuk dilakukan kecuali mengalami sendiri berbagai peristiwa yang membawanya kepada kesimpulan bahwa Yesus Kristus sungguh bukan sekedar seorang manusia, melainkan adalah Tuhan. Pergumulan iman – pergeseran atau perubahan sikap – di dalam memandang Kristus sebagai Tuhan seperti yang dialami seorang Yudas adalah pergumulan iman yang sungguh nyata. Bagaimana proses tersebut terjadi dan bagaimana kemudian ia dapat sampai kepada sebuah kesimpulan yang benar perlu dicermati dengan seksama. Proses yang dilewati ini akan juga menjadi proses nyata yang akan dialami oleh setiap pembaca kontemporer. Mereka akan dibawa masuk ke dunia pada masa itu, mengalami berbagai kesulitan iman dan kemudian akan dituntun oleh penulis (sang Yudas) sampai pada kesimpulan yang sama.
Pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah, apakah penggunaan metode eksegese narasi dapat membawa dan membantu pembaca membangun iman sejati? Apakah memang metode ini dapat dipertanggungjawabkan? Tidak mudah menjawab pertanyaan semacam. Untuk itu perlu dipertimbangkan beberapa catatan di bawah ini.
Problema Kebenaran Pewahyuan
Jika Alkitab dipercaya berisi beragam peristiwa semenjak kejadian sampai kepada akhir jaman dan semua ini dinyatakan di dalam keindahan sastra dalam runtutan kisah-kisah, maka pembaca akan dibawa kepada suatu kemustahilan. Maksudnya, secara nyata pembaca tidak akan pernah hadir di dalam masa penciptaan. Namun Narator mampu untuk mengatasi kemustahilan ini. Ia dapat menceritakan secara detail peristiwa tersebut dan bahkan dapat mengungkapkan pula apa yang akan terjadi kelak di masa mendatang. Secara sastra, inilah yang disebut sebagai sebuah seni, namun sekaligus pula membuka pintu untuk mempertanyakan kebenaran cerita itu. Kalau memperhatikan karya-karya sastra yang indah lain, model semacam ini juga akan dengan mudah dijumpai, namun sekaligus dianggap sebagai sebuah kemustahilan. Ada banyak manipulasi yang dilakukan dengan tujuan meyakinkan para pembaca bahwa cerita tersebut adalah objektif adanya.
Dengan demikian, Alkitab juga akan dianggap sarat dengan muatan manipulasi yang bertujuan untuk menimbulkan efek tertentu kepada para pembacanya. Semua ini dilakukan oleh penulis agar pembaca dapat melihat adanya dimensi-dimensi lain dalam sebuah kisah.[12]
Problem Otoritas
Problem memasuki dunia cerita dan mengalami pergumulan yang sama dengan penulis Alkitab menjadikan kedudukan pembaca dan penulis pertama tersebut menjadi setara atau setingkat. Pembaca dan penulis akan sama benarnya padahal di dalam kondisi semacam ini komunikasi atau dialog iman antara pembaca dan penulis tidak pernah terjadi. Pembaca tidak akan pernah dapat menghayati sebuah cerita jika tidak ada penulis atau pencerita berdiri di antara peristiwa dan pendengar. Kedudukan para penulis Alkitab mempunyai keunikan tersendiri oleh karena mereka adalah yang dipilih dan dipercaya menerima wahyu pertama kali.
Kesamaan kedudukan pembaca dan penulis di sini mengaburkan konsep wahyu dan pewahyuan. Memang sebagai jalan keluar untuk mengatasi masalah ini, para pembaca diharapkan tunduk dibawah otoritas penulis, sudut pandang penulis atau mengembangkan sikap percaya dan mempercayai penulis akan segala hal yang disampaikannya.
Problem Imajinasi
Masuk ke dalam “dunia cerita” dan membayangkan kira-kira pergumulan apakah yang dialami penulis pada masa itu akan membuka peluang penafsiran sekehendak hati. Mengapa? Karena di sini pembaca mengambil alih keunikan pergumulan penulis. Walaupun pembaca masuk ke dalam dunia semacam ini, tetap perlu diakui bahwa dunia kreasi yang ada di dalam pikiran pembaca tidak dapat mewakili atau bahkan menyatakan dunia yang dialami penulis. Dunia penulis adalah unik, khusus dan “dunia pada saat itu” dengan segala macam dinamikanya. Tentu hal ini juga tidak terlepas dari maksud Allah di dalam sejarah pewahyuan. Pembaca tidak akan pernah dan tidak akan mungkin kembali ke masa itu. Yang mungkin dilakukan adalah berupaya mendekatinya dengan sederetan perlengkapan pengetahuan yang ia ketahui tentang dunia saat itu dari berbagai sumber literatur tertentu.
Problem Narator
Kehadiran narator dan perannya dalam menyatakan setiap kisah/kejadian di dalam Alkitab sangat dominan. Ia seakan mewakili suara seseorang tetapi sebenarnya bukan orang. Keberadaannya tidak sama dan tidak dapat dicampur-adukkan dengan penulis. Narator hanya ada sebagai sebuah konstruksi dari pembaca yang mengolahnya sedemikian rupa di dalam usaha mengerti sebuah cerita. Ia adalah sebuah fungsi yang mengekspresikan diri dalam bahasa yang membentuk kisah. Kesan yang ditimbulkan dari keistimewaan narator membawa dia sampai pada posisi “tahu segalanya.” Mengapa? Karena ia adalah seorang yang memiliki jalan masuk ke peristiwa di masa lalu, mengetahui pikiran dan perasaan karakter mulai dari Tuhan sampai manusia biasa. Ia adalah seorang yang membawa suara kenabian sehingga pembaca harus percaya kepadanya dan mendapatkan informasi yang perlu.
Sebenarnya ada banyak cerita di dalam Alkitab yang menunjukkan ketidak-tahuan narator. Misalnya kejadian Yesus menulis ditanah pada peristiwa seorang perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Jika ditanya, tulisan apakah yang dibuat Yesus di tanah itu? Narator akan menggelengkan kepala dan mengangkat bahu tanda ketidak-tahuannya. Selain itu pembedaan antara narator dan penulis seperti disebutkan di atas akan membawa kepada problem otorisasi di dalam pewahyuan pula, maksudnya apakah narator dapat dikatakan seseorang atau “sesuatu” yang juga menerima wahyu? Sekali lagi, muncul masalah pengertian wahyu dan pewahyuan.
Problem Hermeneutik
Pendekatan narasi yang cenderung mengabaikan prinsip hermeneutika justru membawa ke suatu problem hermeneutika baru. Memang hasil pendekatan ini membawa pembaca dan pendengar masuk ke dalam dimensi cerita yang unik dan bersifat pribadi. Mereka di bawa masuk “bertualang” di dalam “dunia cerita” yang diciptakan oleh penulis. Namun jika dicoba telusuri, maka terdapat problem serius yang terjadi di dalam pendekatan ini. Titik tolak perdekatan yang digunakan justru mengabaikan keutamaan Alkitab sebagai firman dengan memilih-milah sedemikian rupa perihal pewahyuan sehingga tidak dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh.
1. Penekanan kepada “dunia cerita” ciptaan penulis mengabaikan prinsip “segala tulisan yang diilhamkan Allah.” Pembaca akan terfokus perhatian kepada “dunia cerita” tersebut dan mengabaikan Alkitab sebagai firman Allah, di mana di dalamnya nyata segala kebenaran Allah. Tuntutan atau ajaran tertentu yang muncul menjadi bagian refleksi dari sebuah cerita dan bukan karena tuntutan Allah di dalam firmanNya.
2. Alkitab menjadi salah satu dari sekian banyak buku cerita yang agung, hanya bedanya adalah label yang diberikan kepadanya sebagai “Firman Allah.” Label ini menjadi Alkitab sedikit lebih tinggi dari buku-buku cerita lain itu, namun pada intinya atau hakekatnya, secara posisi tetap sama. Karena adanya label ini pulalah pembaca mau tidak mau harus memberikan pengakuan bahwa Alkitab lebih dari sekedar sebuah buku cerita.
3. Posisi pembaca dan penulis menjadi setara dan mungkin sekali pembaca mengatas namakan pendapat pribadi sebagai pendapat penulis. Ini dikarenakan hal penulis pertama tidak mendapat posisi penting di dalam upaya mengerti apakah maksud pertama dari isi tulisannya di dalam Alkitab. Memang jalan keluar yang diusulkan adalah menempatkan diri di bawah posisi penulis, namun hal ini tidak serta merta menjadi sebuah jaminan tidak adanya unsur subjektivitas semacam ini.
4. Hal pengabaian konteks pembaca atau penerima pertama dari tulisan penulis pertama juga menjadi problema serius. Setiap tulisan yang lahir dari tangan penulis pertama tidak pernah lahir di dalam kevakuman, dalam arti pasti ada suatu alasan tertentu yang melatar-belakangi munculnya tulisan tersebut. Dalam kaitannya dengan peristiwa pewahyuan, memang hal ini dipercaya sebagai bentuk intervensi Ilahi pula di dalam penyataan wahyuNya.
Rangkum Pikiran
Cerita merupakan salah satu wahana penting dan efektif di dalam penyampaikan dan penyimpanan suatu pesan. Semua orang dari berbagai golongan usia akan menyukai apa yang disebut sebagai cerita. Untuk dapat memahami suatu cerita tertentu dan memakainya dengan baik, perlu dipelajari berbagai kaidah dan segi-segi dari sebuah cerita. Pada waktu berbicara tentang Alkitab, perlu diakui bahwa di dalamnyapun ada banyak cerita.
Tidak sedikit para ahli Alkitab menggunakan metode bercerita – pendekatan literer kritis – untuk menggali isi Alkitab ini dan menyajikan hasil penggalian tersebut sebagai sebuah “penemuan baru.” Tentu akibatnya akan menimbulkan kesan bahwa pendekatan gramatikal-historis yang selama ini dipakai disingkirkan jauh-jauh karena tidak membawa hasil yang lebih membumi. Metode ini hanya menghasilkan kumpulan dogmatik yang dingin, kaku dan tidak bersangkut paut secara langsung.
Walaupun memang harus diakui pendekatan ini telah memberikan “sesuatu” yang baru di dalam disiplin ilmu hermeneutik, namun hal ini diperoleh dengan mengorbankan banyak prinsip penting di dalam konsep Alkitab tentang wahyu dan pewahyuan, konsep wahyu dan inspirasi.
Eksegese narasi memang berhasil merekonstruksi pengalaman hidup untuk menyatakan suatu kehidupan yang mendalamdan sangat hakiki, namun pengalaman ini berada pada level horizontal. Aspek vertikal antara seseorang dengan Allah menjadi kabur atau bahkan cenderung terabaikan sama sekali.
Terlalu banyak dunia simbolik yang dihasilkannya daripada memberikan tempat kepada dunia realitas. Dunia semacam ini mendapatkan tempat yang sangat ultimat dan Eksegese yang dilakukan justru mengajak para pembaca ke dalam situasi penyesuaian diri kepadanya. Semua ini dilakukan dengan suatu anggapan bahwa narasi Alkitab mampu mengatasi semua hambatan dunia Alkitab dan dunia kontemporer.
Eksegese semacam ini dapat dikatakan sebuah eisegese terselubung karena telah mengabaikan fakta kebenaran yang bersifat sejarah dan semua yang terkait di dalamnya di dalam sejarah pewahyuan dan hanya memberikan fokus perhatian pada hasil akhirnya belaka. Meminjam perkataan Ronald Thiemann, “Teks berdiri di tempat di mana seharusnya Allah berdiri.”[13]
Kepustakaan
Alter, Robert & F. Kermode (Ed). The Literary Guide to the Bible. Fontana Press. 1986.
Alter, Robert. The Art of Biblical Narrative. London: George Allen & Unwin. 1981
Berlin, Adele. Poetics and Interpretation of Biblical Narrative. Sheffield: The Almond Press, 1983.
Meir Sternberg. The Poetics of Bibical Narrative, Ideological Literature and the Drama of Reading, Bloomington: Indiana University Press, 1987.
Leland Ryken. “Words of Delight”: The Bible as Literature. Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 585.
__________ . “And It Came to Pass”: The Bible as God’s Storybook. Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 586.
__________ . “I Have Used Similitudes”: The Poetry of the Bible. Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 587.
__________ . “With Many Such Parables”: The Imagination as a Means of Grace. Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 588.
__________ . How to Read the Bible as Literature. Grand Rapids: Zondervan, 1984.
Santosa, Jakub. “Metode Exegese Narasi,” Gema Duta Wacana. No. 41. Th.
Setio, Robert. “Alkitab sebagai Kumpulan Narasi.” Gema Duta Wacana No. 41/1991
Thiemann, Ronald. “Response to George Lindbeck.” Theology Today 48:3 (October 1986)
[1] | Secara garis besar metode tafsir Alkitab terdiri dari tiga fase, yaitu (1). metode tafsir tradisional. Ini merupakan metode yang paling banyak digunakan hingga saat ini dan bersifat historikal-gramatikal. (2). Metode historis kritis. Pengaruh sejarah sangat kuat di dalam metode ini. Setiap kitab di teliti sebagai dokumen sejarah dan mempertanyakan “kesungguhan terjadinya” setiap peristiwa tersebut. (3). Metode struktural. Pada prinsipnya metode ini memusatkan perhatian pada teks tanpa merasa perlu memperhitungkan konteks. top |
[2] | Misalnya, J.D. Kingsbury, Matthew as Story (Philadelphia: Fortress Press, 1988), Paul D. Duke, Irony in the Fourth Gospel (Atlanta: John Knox Press, 1985), J.P. Fokkelman, Narrative Art and Poetry in the Books of Samuel, 2 Vols (Dover NH: Van Gorcum, 1986). top |
[3] | Robert Alter adalah Guru Besar Ibrani dan Kesusastraan Perbandingan di Universitas Barkeley, California. Sebagai seorang kritikus, ia banyak menulis hal-hal yang berkaitan dengan cerita dan novel. Dua bukunya yang sangat terkenal, The Art of Biblical Narrative (1981) dan The Art of Biblical Poetry (1985). top |
[4] | Di sini Alter membedakan dengan pendekatan modern yang menurutnya cenderung melihat setiap bagian teks sebagai dokumen yang berbeda dan terkadang memisah-misahkankan teks.top |
[5] | Misalnya cerita tentang Yehuda dan Tamar di dalam Kejadian 38 yang oleh beberapa ahli diterima sebagai sebuah sisipan di dalam cerita Yusuf, baginya merupakan suatu rangkaian dan mempunyai keterkaitan yang erat dengan cerita Yusuf (Kejadian 37-39). Dengan pembacaan close reading ia melihat kemiripan kedua cerita ini, khususnya akan hal pengenalan Yakub atas jubah Yusuf dengan pengenalan Yehuda atas cap materai, kalung dan tingkat yang dibawa oleh para pembantu Tamar kepadanya. top |
[6] | Leland Ryken, “’And it Came to Pass’: The Bible as God’s Storybook.” Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 586. Hal. 131. top |
[7] | Robert Setio, “Alkitab sebagai Kumpulan Narasi,” Gema Duta Wacana No. 41/1991 hal. 5.top |
[8] | Sternberg, Meir. The Poetics of Bibical Narrative, Ideological Literature and the Drama of Reading, (Bloomington: Indiana University Press), 1987. top |
[9] | Alter, Robert & F. Kermode (Ed). The Literary Guide to the Bible. (Fontana Press), 1986, hal..3. top |
[10] | Leland Ryken, “’And it Came to Pass’: The Bible as God’s Storybook,” hal. 133. top |
[11] | Leland Ryken di dalam bukunya How to Read the Bible as Literature, memberikan beberapa prinsip/aturan pendekatan literaris ini (1). Perhatikan dan mempertimbangkan setting, karakter dan plot cerita. (2). Perhatikan setiap detail cerita dan analisa kaitannya dengan keutuhan cerita, (3). Gunakan setiap detail untuk mengenal setiap karakter di dalam cerita tersebut, (4). Identifikasi masalah sebenarnya dari konflik yang terjadi. Perhatikan perkembangan dan akhir dari konflik tersebut, (5). Analisa bagaimana sebuah narasi dapat menciptakan minat dan keingintahuan. Lihat: How to Read the Bible as Literature Grand Rapids: Zondervan, 1984), hal. 35-43. Lihat juga: Leland Ryken, “’And it Came to Pass’: The Bible as God’s Storybook.” Bibliotheca Sacra. Vol. 147. No. 586. Hal. 134-137. top |
[12] | Untuk lebih jelasnya silahkan membaca, Adele Berlin, Poetics and Interpretation of Biblical Narrative, (Sheffield: The Almond Press, 1983). top |
[13] | Ronald Thiemann, “Response to George Lindbeck,” Theology Today 48:3 (October 1986), hal. 378. top |